Sudah hampir setahun sejak diluncurkannya Buku Sekolah Elektronik (BSE), tetapi penyebaran dibeberapa sekolah belum merata. BSE digunakan sebagai bahan ajar, akibatnya pada tahun ajaran yang baru ini, beberapa sekolah menggunakan buku cetak dari penerbit yang tergolong mahal harganya. Selain itu program buku murah versi pemerintah tersebut belum populer sebagai buku teks pelajaran yang diwajibkan sekolah untuk dimiliki siswa.
BSE, yang bisa diakses di laman
www.bse.kemendiknas.go.id, saat ini telah berjumlah 901 judul buku, mulai buku SD hingga SMA/SMK. Sejak tahun lalu, BSE versi cetak juga sudah mulai dipasarkan Pusat Buku Indonesia yang berlokasi di Jakarta ke berbagai daerah. Sejauh ini terdapat 407 judul buku pelajaran yang sudah masuk Jaringan Pendidikan Nasional dan dapat diakses gratis oleh masyarakat.
Buku-buku tersebut juga dicetak oleh sejumlah percetakan dan dijual dengan harga eceran tertinggi yang ditentukan oleh pemerintah, dengan harga hanya sepertiga dari buku pelajaran di pasaran. Pembelian buku teks, yang dibeli hak ciptanya oleh Departemen Pendidikan Nasional sejak 2007, pada tahun ini diharapkan bisa mencapai 1.000 judul.
Alokasi anggaran untuk pembelian hak cipta buku dalam APBN 2009 sebesar Rp 46 miliar.
"Kalau mau pakai BSE sulit, sebab di kelas-kelas tidak ada komputer. Siswa juga belum tentu punya komputer kalau wajib pakai BSE. Yang versi cetaknya juga belum tahu," kata Siti Zulaeha, salah seorang guru SMA negeri di Jakarta.
Sumarno, guru SMP swasta di Tangerang, mengatakan, guru mulai ada yang memanfaatkan BSE, tetapi hanya sebagai tambahan. Materi isi buku dalam BSE dinilai masih kurang rinci dan lengkap jika dibandingkan dengan buku teks pelajaran dari penerbit yang biasa digunakan sekolah-sekolah selama ini.(kmp/git)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar