"Mak, kaki adik mana? Kaki adik mana?" ratap Delisa Fitri Rahmadani, setiap tengah malam. Rintihan Delisa yang dirawat di Rumah Sakit (RS) Kesdam Banda Aceh itu begitu menyayat batin ayahnya, Bachtiar (55) yang setia menunggui putri tercinta. "Hampir setiap malam dia menangis seperti itu," ujar Bachtiar.
Itulah ratapan asli Delisa yang sebenarnya ketika tersadar di rumah sakit 8 tahun yang lalu (2004).
Mungkin kita masih ingat nama itu .... Delisa. Banyak orang mengira bahwa sosok gadis cilik ini hanyalah rekaan Tere Liye sang penulis novel. Ya, apalagi setelah novel "Hafalan Shalat Delisa" diangkat ke layar lebar pada tahun 2011 oleh produser Chand Parwez Servia dan sutradara Sony Gaokasak. Kisahnya tentang Delisa, gadis cilik yang tinggal di Desa Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar.
Dalam film tersebut Delisa digambarkan sebagai bungsu dari empat bersaudara yang periang dan manja. Saat tsunami terjadi semua keluarganya meninggal; ibu, dan ketiga kakaknya. Kecuali ayahnya yang saat itu bekerja di kapal tanker perusahaan minyak internasional.
Tapi namanya film tentu tidak sama persis dengan aslinya. Yang pasti Delisa benar-benar korban gelombang ganas tsunami 26 Desember 2004. Kisahnya nyaris
sangat mirip dengan Delisa-nya Darwis Tere Liye. Bedanya Delisa yang asli ini bukan penduduk Lhok Nga. Delisa yang ini bernama lengkap Delisa Fitri Rahmadani. Ia biasa dipanggil Delisa. Kakinya telah diamputasi karena diterjang tsunami. Gadis yang memakai baju putih dan rok berwarna coklat tersebut lahir di Ulee Lheue Banda Aceh, 15 Desember 1997 silam.
Di acara refleksi delapan tahun tsunami Aceh yang digelar Forum Lintas Komunitas di Museum Tsunami Aceh kemarin siang (26/12), Delisa menjadi pusat perhatian. Banyak yang meminta tanda tangan padanya, ada juga yang minta foto bersama. Sebelumnya Delisa tampil di hadapan seluruh pengunjung untuk berbagi kisahnya hingga selamat saat tsunami.
Dengan bantuan tongkat gadis itu berdiri di tengah panggung. Kedua bola matanya terlihat berair. Dari mulutnya cerita demi cerita tentang peristiwa tsunami delapan tahun silam mengalir. Sesekali ia terlihat berhenti bercerita. Kadang suaranya terdengar terputus-putus, terutama saat menyebut ibunya.
Saat itu katanya ia masih berusia 8 tahun lebih 15 hari. Ia masih duduk di kelas 2 MIN Ulee Lheue Banda Aceh. Saat musibah tersebut ia kehilangan ibunya Salamah, dan juga ketiga saudara kandungnya. Ia juga kehilangan anggota tubuhnya, yaitu kaki sebelah kanannya yang harus diamputasi.
“Waktu itu kaki saya sudah membusuk. Telapak kaki sudah terkikis dan nampak tulangnya. Selama tiga hari setelah tsunami kaki saya hanya diberi betadine saja. Perihpun sangat luar biasa, melihat kondisi saya yang seperti itu, salah satu relawan mengatakan bahwa ada dokter dari Australia di Rumah Sakit Fakinah. Relawan itu juga bilang kamu harus terima apapun nanti hasilnya, saya pun siap dioperasi pada hari kelima,” ujarnya di atas panggung.
Kini Delisa menjalani hari-harinya dengan bantuan tongkat dan kaki palsu. Ia tinggal bersama ayahnya Bakhtiar, dan seorang abangnya yang selamat. Ia kini sekolah di SMK 5 Telkom Banda Aceh dan masih kelas satu. Delisa adalah remaja yang penuh semangat dan energik, saat masih SMP ia juga pernah mendapat juara umum. Gadis itu juga pandai memainkan alat musik keyboard.
“Saya berterima kasih kepada Alloh yang telah mengambil kaki saya, di luar sana banyak Delisa-Delisa lain yang mungkin lebih dari saya,” ujarnya.
Kelak Delisa ingin menjadi pemain musik dan pengarang buku. Ia juga ingin membuat komunitas untuk anak-anak cacat.
Subhanallah. Dua
jempol untuk semangat bangkit Delisa dan kawan-kawan!
jempol untuk semangat bangkit Delisa dan kawan-kawan!
Do'a kami untuk kalian......